Pesan Cinta dari Seorang Guru - Kisah Imam Abu Hanifah bersama muridnya
Ini adalah cerita antara guru dengan muridnya, guru alim dan muridnya yang alim. Dua manusia ini menjadi orang penting dalam cerita Mazhab Hanafi; Imam Abu Hanifah dan muridnya Abu Yusuf bin Ibrahim Habib.
Setiap kali kita mendapati pendapat Imam Abu Hanifah dalam sebuah perkara fiqih, setiap kali itu juga biasanya kita juga akan menemukan nama Abu Yusuf disana, baik sebagai penguat pendapat atau sebagai orang yang berseberangan dalam pendapat.
Abu Yusuf terlahir dalam keadaan yatim, dan dari keluarga yang miskin. Ibunya selalu saja membawa Abu Yusuf ke pegawai istana kerajaan Abbasiah dengan maksud agar anak ini mendapat pekerjaan disana, dan mendapat harta. Tapi Abu Yusuf selalu ‘nakal’, setiap kali Ibunya membawanya ke istana, setiap itu juga beliau ‘minggat’ dan pergi ke majelis Abu Hanifah untuk belajar.
“Anak ini seorang yatim, tidak memiliki apa-apa, kecuali makanan yang aku berikan untuknya dari hasil mesin tenun, sekarang Engkau telah membuatku susah, karena anakku telah menyukai majelismu” begitu suatu ketika sang ibu berkata kepada Imam Abu Hanifah.
Namun sang imam menanggapinya dengan santai, dan berkata dengan kalimat doa: “Kelak anak ini akan memakan Al-Faludzaj dan kacang tanah di atas piring emas”. Tapi dijawab lagi oleh sang ibu: “Sepertinya Engkau seorang syaikh yang suka khurofat”
Dialog diatas mungkin hanya sebatas ungkapan kekesalan ibu yang menginginkan anaknya bekerja dan mendapat harta dari istana. Maklum, hidup miskin dan menjadi single parent membuat ibu berpikir keras bagaimana cara mendapatkan harta, minimal untuk makan dan minum saja.
Saya hanya berusaha mengiyakan apa yang diinginkan oleh ibunya Abu Yusuf. Dan memang begitulah kenyataannya. Namun Allah punya sekenario lain. Si miskin ini kelak menjadi penasihat istana, penasihat khalifah Harun Al-Rasyid, dan bahkan dimasanya beliau menuliskan sebuah buku yang dijadikan rujukan oleh Harun Al-Rasyid dalam mengurus ekonomi negara. Kitab “Al-Kharraj” adalah salah satu karya terbaik dari Abu Yusuf.
Ilmu dan harta kadang menjadi dua hal yang tidak bisa disatukan dalam satu waktu. Bahkan kita tidak akan mendapatkan setengah ilmu walau seluruh jiwa dan raga sudah kita khidmahkan untuknya.
Cerita kecil Abu Yusuf diatas membuat seorang guru dengan penuh cinta berpesan kepada Abu Yusuf, pesan yang sangat menyentuh jiwa, pesan kehidupan yang sangat kuat sekali maknanya.
“Pertama-tama, carilah ilmu, lalu kumpulkanlah harta dari yang halal, kemudian menikahlah. Jika Engkau disibukkan mencari harta saat mencari ilmu, Engkau tidak akan mampu mencari ilmu, karena hartamu akan mendorongmu untuk membeli budak, lalu engkau disibukkan dengan urusan dunia.
Jangan sibukkan dirimu untuk mengurus istri sebelum engkau mendapatkan ilmu, karena kesempatanmu untuk belajar akan sirna, terlebih jika Engkau telah disibukkan dengan anak dan anggota keluargamu, lalu Engkaupun terpaksa mencari harta, bekerja, untuk memenuhi kebutuhan mereka, dan meninggalkan aktivitas mencari ilmu.
Dahulukan mencari ilmu saat engkau masih muda, ketika hati dan perasaanmu masih kosong dari kesibukan lain. Lalu setelah itu, carilah harta hingga ia terkumpul padamu, jika Engkau sudah mempunyai harta, maka bolehlah Engkau memikirkan untuk segera menikah.”
Nasihat yang sangat mujarab dari seorang guru. Tidak berlebihan jika ilmu dulu baru menikah, sedikit berlama-lama di majelis ilmu juga bukan berarti lupa menikah. Tidak. Tetap menikah. Tenang sajalah.
Nasihat ini membawa Abu Yusuf menuju kursi Qadhi Al-Qudhot (hakim tertinggi negara). Dengan ilmunya ia diamanahi untuk menjadi hakim negara, memutuskan perkara dengan seadil-adilnya, sesuai dengan aturannya, bukan sesuai dengan pesanan atasannya.
Mungkin nasihat ini juga bukan hanya untuk Abu Yusuf saja, siapa tahu nasihat ini juga mujarab untuk mereka yang mendambakan murid atau anak agar menjadi ulama terkemuka, yang menjadi pembawa cahaya baru bagi masyarakat dan negara.
Wallahu Alam Bisshowab
Sumber: Rumahfiqih.com

Komentar
Posting Komentar