Kaya Namun Sederhana, Umar bin Abdul Aziz (contoh nyata pejabat yang bersih dan punya komitmen kerakyatan)


    Zuhud tidak berarti anti-duniawi. Namun ada yang memberikan kesan seakan perilaku zuhud membuat ummat Islam acuh kepada keduniawian sehingga yang mengurusi dunia jadinya orang lain. Hal itu amat menguntungkan orang-orang kafir dan merugikan muslimin sendiri. Benarkah sikap tak peduli urusan duniawi dipredikati zuhud?
    Rupanya Umar bin Abdul Aziz mencoba menjawab teka-teki itu bukan dengan kata, tetapi dengan ukiran sejarah langkah amalnya disaat ia mengemban amanah kekhalifahan Bani Umaiyah. Secara pribadi ia menjaga jarak yang pas dengan harta benda dan kekuasaan. Ia ekstra hati-hati dengan harta kekayaan ummat Islam (baitul-maal). Ia bisa meletakkan dirinya dengan tepat dan indah di tengah kepentingan pribadi dan kepentingan orang banyak.
    Ia bukan anti harta benda, sekalipun kurang akrab dengannya. Ia benar-benar menjaga jarak dengan harta benda dunia, agar tetap sehat dan tidak mabuk menyikapinya. Sikap sehat itu perlu bagi seorang penguasa, agar tak terseret seperti pendahulunya yang berambisi memperkaya diri. Memang mereka ingin menyejahterakan rakyat, tapi konsentrasinya terganggu dengan munculnya ambisi kepentingan pribadi. Sehingga seakan terjadi persaingan antara dirinya sebagai penguasa dan rakyatnya sendiri. Dan tentu saja, rakyatlah yang jadi korban.
    Maka Umar memutuskan diri untuk bersikap zuhud, agar dirinya selamat dari malapetaka dunia dan akhirat, serta tercapai kemakmuran dan kesejahteraan ummat yang dipimpinnya. Ia tidak menolak untuk menikmati harta dengan dasar syukur kepada Allah. Ia tidak pernah mengharamkan harta yang halal untuk dirinya. Dan jika ia kelewat sederhana, sama sekali bukan bermaksud menyiksa diri, melainkan demi kepentingan kesejahteraan rakyatnya. Ia bahagia dengan kesederhanaannya, karena berpengaruh pada kemakmuran negeri Islam yang ia pimpin. Di samping itu ia ingin memberikan teladan kepada penguasa-penguasa bawahannya, agar dalam kesederhanaannya ada terselip cita-cita luhur untuk mengantarkan mereka bahagia di dunia dan akhirat.

Pengawal kaum muslimin
    "Saya adalah pengawal kaum muslimin dalam hal kekayaan mereka," kata Umar. Ucapannya ini perlu penafsiran. Tafsir otentiknya terdapat dalam lembaran sepak terjangnya. Ia berprinsip bahwa harta kekayaan adalah titipan Allah dan milik manusia seluruhnya. Harta itu harus dihormati dan dipelihara. Tak boleh diganggu gugat, dihambur-hamburkan, dirampas, ditimbun sebagai milik pribadi yang tiada bermanfaat sosial, dan lain-lain.
    Di suatu hari musim dingin, ia butuh air untuk berwudhu. Ia minta bantuan kepada seorang pelayan mengambilkan air tersebut. Sebagai rasa hormatnya kepada khalifah, pelayan membawakan air hangat. Khalifah bertanya: "Dari mana engkau memperoleh air hangat dalam waktu secepat ini?"
    "Kami mengambilnya dari dapur umum," jawab pelayan dengan sopan. "Sungguh aku tak akan menyentuhkan air itu ke badanku sebelum terbayar semestinya,"
    Disaat itu banyak dibangun dapur umum untuk kepentingan orang banyak yang dibiayai baitul-maal. Untuk mengurus negara, Umar seringkali kerja lembur sampai larut malam. Karena untuk kepentingan negara, ia gunakan fasilitas yang dibiayai baitul-maal. Tetapi jika ada salah seorang anggota keluarganya masuk sekalipun hanya untuk pembicaraan sebentar, Umar akan meniup lampu penerangan biaya negara, dan dinyalakan lampu pribadi yang telah tersedia di tempat itu sampai pembicaraan urusan keluarga selesai.
    Sementara orang menganggap sikap khalifah itu keterlaluan dan teramat ketat, tidak lumrah dan tidak pada tempatnya. Bukankah tak mengapa menggunakan fasilitas yang dibiayai negara untuk kepentingan sejenak keluarganya? Bukankah kepentingan keluarganya tidak berdasar nafsu? Bukankah secara tidak langsung, kepentingan keluarga khalifah juga kepentingan masyarakat. Toh masyarakat memahami, bahkan memaafkan jika hal itu bersangkut paut dengan hak mereka.
    Tatkala hal itu disampaikan kepadanya, ia menjawab: "Yang menggerakkan aku dalam hal ini bukan hanya aturan formalitas, tetapi demi cita-citaku untuk menjunjung dan mensucikan hak kekayaan umum. Sungguh tak ada bedanya kekayaan yang senilai minyak setetes dengan yang senilai emas dan perak segudang. Kecurangan bagiku berlaku terhadap segala sesuatu, baik sedikit ataupun banyak. Bahkan hadiahpun menurut pendapatku disaat aku menduduki kekhalifahan adalah kecurangan pula. Setidak-tidaknya sesuatu yang hampir menyerupainya".
    Suatu hari datang seorang yang memberi hadiah. Ia menolak pemberian itu. "Bukankah Rasulullah pernah menerima hadiah dari seseorang?" tanya yang memberi.
    "Bagi Rasulullah Saw, itu memang hadiah, tetapi bagiku (dalam posisi seperti ini) hal itu tergolong risywah (uang suap)," jawabnya tegas.

Harta itu sakral
    Dalam hatinya yang taqwa dan mulia, kekayaan masyarakat memiliki kehormatan yang sebanding dengan kehormatan iman dan tauhid. Salah seorang diantara gubernurnya pernah mengajukan surat permohonan. Isinya meminta dana tambahan untuk membiayai pendopo gubernuran dan lampu penerangan jalan menuju masjid, agar tak gelap saaat sholat Isya' dan Subuh. Menanggapi gubernurnya itu, Umar menulis sepucuk surat balasan. Sebagian isinya adalah:
    "Bukankah anda telah berjanji kepadaku wahai Ibnu Ummi Hazmi, tatkala anda diangkat menjadi gubernur, bahwa anda bersedia ke masjid di malam gelap gulita tanpa lampu? Sungguh kehidupan anda saat ini lebih baik daripada sebelumnya. Pada keluarga anda tentu sejumlah (lampu penerangan), sebagian bisa dimanfaatkan untuk itu dan anda tak perlu membelinya lagi!"
    Gubernur yang lain mengirim surat permohonan pula, meminta tambahan dan untuk pembelian kertas, tinta, dan alat tulis menulis lainnya. Isi balasan surat khalifah:
    "Sesampainya suratku ini, peruncinglah pensil anda, rapatkanlah tulisan anda, dan tulislah beberapa keperluan yang bermacam-macam itu dalam satu kertas! Tidak ada perlunya bagi seorang muslim untuk menghambur-hamburkan ucapan dengan menggerogoti baitul-maal!"
    Terkesan betapa pelitnya Umar bin Abdul Aziz ini. Dan lagi, negara sebesar dan sekaya itu, tak habis pikir, apa tak mampu memberikan dana yang tak seberapa?
    Persoalannya bukan besar kecilnya dan pelitnya sang penguasa. Dalam pandangan pemimpin yang suci ini, masalahnya terletak pada kesucian harta kekayaan yang mesti dijunjung tinggi pada rasa tanggung jawab terhadap pemeliharaan kekayaan ummat dan pada penghindaran penggunaan harta secara berlebih-lebihan. Ia yakin bahwa pemborosan yang semula hanya dalam penggunaan kertas dan tinta, pada akhirnya akan berkembang tak terkendalikan!
    Biarlah orang mendapatklan kesan bahwa Umar adalah khalifah yang pelit, asalkan demi alasan anti pemborosan. Bukankah kepelitan yang berdalil, apalagi untuk kesejahteraan ummat, akan jauh lebih mulia tinimbang pemborosan yang tak beralasan, lebih-lebih untuk kepentingan pejabat? usaha apa sajakah yang dilakukan pemimpin ummat yang suci ini dalam rangka pemerataan kesejahteraan dan untuk apa sajakah limpahan dana yang menumpuk di baitul-maal?
    Umar bin Abdul Aziz telah mengembalikan harta ummat pada fungsi yang sebenarnya, pada peranannya yang utama, dan pada tanggung jawab yang pertama, yaitu melayani keperluan ummat dan memenuhi kebutuhan mereka. Ia menetapkan bahwa baitul-maal merupakan lembaga yang bertanggung jawab untuk itu. Tindakan itu dapat dilihat dalam suratnya yang ditujukan kepada gubernurnya seperti di bawah ini:
    "Setiap muslim harus memiliki: Sebuah rumah sebagai tempat tinggal, seorang pembantu untuk meringankannya, seekor kuda untuk berjihad menghadapi musuhnya, perabotan rumah tangga seperlunya. Penuhilah semuanya bagi mereka! Barangsiapa yang mempunyai hutang, maka bayarlah!"
    Khalifah memerintahkan kepada para gubernur untuk melaksanakan program tersebut di wilayah masing-masing. Biaya diambil dari baitul-maal setempat, Sedangkan kelebihannya disimpan atau dikirimkan ke pusat. Sementara wilayah-wilayah yang minus, yang tidak mampu memenuhi kebutuhan wilayahnya, mendapat bantuan secepatnya.
    Khalifah yang budiman ini pernah berkata: "Pendapatan hendaklah dihimpun dan dibagikan secara adil. Kalau mencukupi untuk semua warganya, itulah yang paling baik. Kalau tidak cukup, segeralah kirim berita kepada saya agar secepatnya saya kirim bantuan untuk memenuhi kebutuhan mereka."
    Sesudah itu khalifah membangun wisma-wisma di seluruh negeri yang diperuntukkan bagi para musafir dan ibnu sabil. Para karyawan memperoleh gaji yang cukup. Mereka yang selama ini gajinya tidak mencukupi, dinaikkan. Ulama dan cerdik pandai mendapatkan jaminan kebutuhan hidup, agar mereka dapat memusatkan perhatian dalam bidang mereka tanpa harus mengharapkan uluran tangan orang lain sebagai upah. Para gubernur mendapat gaji dan tunjangan jabatan yang besar, sehingga mereka tidak lagi terpikat untuk korupsi atau terlibat dalam suap dan pungutan yang haram.
    Bagi orang buta diperintahkan agar disediakan seorang penuntun atas biaya negara. Semua anak yatim yang tidak mempunyai sanak keluarga, ditampung dan dibiayai hidupnya oleh negara. Ia juga memerintahkan agar setiap anak yang lahir diberi tunjangan dan baru dihentikan setelah dicerai susu oleh ibunya, sehingga para ibu tidak ingin cepat-cepat menyapih penyusuan anaknya. Karena itu bayipun dapat tumbuh dan berkembang sehat dan kuat.
    Kalau mau menggalakkan hidup sederhana bagi para pejabat, Umar bin Abdul Aziz itulah contohnya. Yang menjadi pikiran hanya bagaimana mensejahterakan rakyat dan orang lain, sedang urusan diri sendiri, masuk daftar terakhir. Itulah zuhud sejati, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. Pada zamannya, amanah rezeki karunia Allah benar-benar dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk menikmati kehidupan sederhana tapi bahagia. Ia tidak hanya memenuhi kebutuhan materiil belaka, melainkan ia juga mengisi jiwa mereka dengan harga diri dan qana'ah (merasa cukup dengan apa yang ada). Mereka tidak lagi iri, tamak, dan tergiur pemberian orang lain. Kehidupan sederhana penuh qana'ah versi Islam inilah yang mereka cari. 

Masyaallah, Allahu Akbar. 
Semoga kita semua mendapatkan ibrah dari kisah salah satu khalifah islamiyah yaitu Umar bin Abdul Aziz. dan meneruskan pelajaran-pelajaran hidup yang telah didapat sebagai contoh serta teladan yang baik untuk anak dan cucu kita di masa depan... Aamiin Ya Rabbal 'Alamiin


Sumber : Majalah SAHID EDISI 03 \ TH VI \ MUHARRAM 1414

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kala Fitnah Menyulut Gelisah, Sabar dan Tawakkal Taruhannya (Kisah Ummu Aisyah bint Abu Bakr dgn Rasulullah SAW)